Incumbent Di Atas Angin

Trenggalek - Pilihan bupati (pilbup) Trenggalek digelar 2 Juni mendatang. Atau kurang empat bulan lagi. Namun terkesan greget dari dua calon masih sangat kurang. Baik Mulyadi, Mahsun Ismail maupun Soeharto. 

Lihat saja, nyaris tidak ada spanduk atau baliho sosialisasi calon di jalan raya. Memang, tim relawan Mulyadi mengeluhkan pelarangan perizinan oleh pemkab Trenggalek. Namun, rasanya, itu bukan satu-satunya alasan untuk tidak memasang spanduk atau baliho. 
KPU sebagai pelaksana pilbup juga terkesan adem ayem. Memang, sejumlah tahapan sudah mulai berjalan. Namun tetap masih berkesan bahwa sebentar lagi mereka punya gawe besar. 
Masyarakat juga merasakan dampaknya. Sebagian tidak mengetahui jika pilbup bakal digelar 2 Juni mendatang. Mereka juga belum tahu jika sudah tiga calon yang akan pertarung. 
Mengapa semua bisa terjadi? Salah satunya karena keterbatasan amunisi. Sebagai gambaran, KPU tidak bisa melangkah secara cepat tanpa sokongan dana dari APBD. Padahal, “kitab” yang mengatur uang di Trenggalek itu baru direvisi oleh Gubernur Jawa Timur. 
Bagaimana dengan tiga calon yang sudah bersiap maju? Rasa-rasanya kok juga sama. Mereka belum memasang persneleng empat atau bergerak secara penuh kekuatan. Saling intip, saling sungkan dan saling berhitung.
Apapun, Mahsun Ismail masih menjadi wakil bupati. Saya yakin, dia ewuh pakewuh kepada Soeharto jika koar-koar secara lantang bakal habis-habisan untuk pilbup mendatang. Bagaimanapun juga suami dari Siti Cholisoh itu masih “bawahan” Soeharto. 
Sedang Mulyadi sendiri masih bertugas di pemprov Jatim. Tidak bisa bergerak leluasa untuk menemui calon pemilihnya. Dalam seminggu, minimal lima hari di Surabaya. Hanya dua atau tiga hari di Trenggalek.
Sebenarnya, saat ini yang paling diuntungkan adalah Soeharto. Pertama, dia adalah incumbent atau yang kini masih menjabat. Waktunya bisa penuh di Trenggalek. Kapan pun dan di mana pun bisa berinteraksi dengan warga atau calon pemilih. 
Kedua, sebagai incumbent, dia bisa leluasa memainkan peran. Contoh paling sederhana, melarang pemasangan baliho lawan politiknya. Dengan alasan sekarang belum ada yang berhak menyandang status calon bupati karena belum ditetapkan oleh KPU.
Ketiga, semakin sepi suasana pilbup, kans Soeharto terbuka lebar untuk terpilih lagi. Kini orang hanya tahu Soeharto sebagai bupati. Jika calon lain minim sosialisasi, masyarakat hanya tahu Soeharto saat coblosan nanti.  
Memang, suara rakyat adalah suara Tuhan yang tidak bisa dimanipulasi. Tapi, siapa yang pintar meramu strategi bakal meraup suara rakyat. 

0 comments:

Post a Comment

Followers

 
© 2010 Koranku | Blogger.com