Sementara pemkab terkesan cuek, sebaliknya kalangan dewan resah. Mereka meminta agar penambang yang menyedot pasir dengan menggunakan diesel itu diobrak.
Seperti diungkapkan Ketua Komisi IV DPRD Tulungagung Supriyono dan Ketua Komisi III Agung Setiawan saat ditemui terpisah. Supriyono mengatakan, warga sekitar lokasi mulai merasakan dampak dari penambang mekanik itu. Seperti beberapa ruas tebing sungai ambruk, sumber air makin dalam, serta lahan pertanian sulit mendapat air.
“Belum lagi faktor lain. Seperti ekologi di sungai yang terancam punah, dan sebagainya. Itulah sebabnya, kami mendesak pemkab untuk menertibkan penambang pasir mekanik,” pintanya.
Pria yang juga ketua DPC PDIP Tulungagung itu menyadari jika yang berhak menindak penambang pasir di Sungai Brantas adalah pemprov Jatim. Dia mengaku sudah menyurati satuan kerja perangkat daerah yang membidangi penertiban untuk berkoordinasi dengan pemprov Jatim. “Intinya kan bagaimana koordinasi yang baik saja. Karena, tanpa izin pemprov Jatim, razia tak bisa dilaksanakan,” ujarnya.
Dia berharap, razia segera digelar. Itu untuk untuk menghindari dampak yang lebih parah lagi. “Semakin cepat, semakin baik,” harapnya.
Sedangkan Ketua Komisi III DPRD Agung Setiawan mengatakan, tak sependapat dengan penambang pasir mekanik. Karena di sebagian daerah seperti Kediri dan Jombang juga tak diperbolehkan.
Lanjut dewan dari Hanura itu, para penambang pasir yang beroperasi di Pulosari kemungkinan dari Kediri dan Jombang. Mereka sudah diobrak di daerah asal, kemudian merambah Tulungagung. Apalagi selama ini, di Tulungagung masih aman-aman saja.
Sedangkan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Tulungagung Suroto belum berhasil dikonfirmasi. RaTu ke kantornya namun dia tidak ada. “Masih rapat, di pendapa,” ujar salah satu staf. Begitu pula ketika dihubungi melaluai telephone seluler, juga tak ada jawaban.
Salah satu warga Pulosari berinisial SN mengatakan, penambangan pasir marak sejak lima bulan lalu. “Mereka, datang dari berbagai daerah,” ungkap pria 56 tahun itu.
Dijelaskan dia, kebanyakan pemilik mesin mekanik dari Kediri, Jombang dan Mojokerto. Pasalnya, rata-rata pemilik deisel lebih berpengalaman dalam hal penambangan pasir.
Namun untuk pekerja, mereka merekrut warga sekitar. “Setiap hari mereka bekerja mengangkut pasir dari sungai ke truk,” terangnya.
Akibatnya, sejumlah jalan yang dilalui truk pengangkut pasir mulai rusak. Begitu pula tebing sungai banyak terkikis akibat pasir di dasar sungai terus dikeruk.
Sebenarnya, lanjut SN, beberapa kali aparat kepolisian mendatangi ke lokasi penambangan. Tapi tak jelas tujuan aparat hokum tersebut. Begitu, hingga kini tak razia.
Sebagai warga Pulosari, dia tak sepakat dengan adanya penambangan pasir mekanik. Intinya, lingkungan merasakan dampak dari penambangan yang sporadis tersebut.
0 comments:
Post a Comment